Hati Tertinggal di Makassar (Bag.1)

Oleh: 
Nina Firstavina, SE.
Web Editor 
PNPM Mandiri Perkotaan  

Hari ini, Jumat, 9 Desember 2011 adalah hari terakhir saya berada di Kota Makassar. Kesan indah begitu mendalam terpatri dalam benak dan hati saya.

Kesan itu dimulai sejak menginjakkan kaki pertama kali di Bandar Udara (Bandara) Sultan Hasanudin nan megah dan cantik, pada Selasa (6/12) pagi itu.

Saya berjalan di sepanjang gedung bandara seperti turis datang dari kampung. Saya takjub pada arsitektur apik bandara ini. Saya tak hiraukan senyum maklum dari berpasang-pasang mata yang melihat tingkah laku saya yang terus-terusan berdecak kagum.

Di luar bandara, rintik hujan tumpah. Membuat iklim Makassar—yang kata orang panas terik—menjadi sejuk dan basah. Tenaga Ahli Urban Planner OC 8 Sulawesi Selatan Munirfan Najamuddin menyambut kami—saya, Sub TA PLPBK Maizil dan Sub TA Infrastruktur Ali Imron—dengan hangat, lalu membawa kami silaturahmi ke kantor KMW/OC 8 Sulsel yang terletak di seberang rumah Ketua KPK baru. Nuansa lokal begitu kental seiring kami bertemu dengan satu per satu personel KMW dan jajaran Korkot Kota Makassar. Logat Makassar yang mereka ekspresikan, unik di telinga saya.

Usai singgah beberapa jam di Kantor KMW, kami, bersama-sama Tim Bank Dunia yang akhirnya tiba juga, segera mengunjungi Kantor Dinas PU Kota Makassar. Kami dipertemukan dengan PPK Provinsi Azikin—yang sebelumnya sudah sempat menemui kami di Kantor KMW—lalu PPK Kota Moh. Fuad Azis yang simpatik. Kembali saya terkagum-kagum dibuat oleh Makassar, demi mendengarkan penuturan kawan-kawan lapangan bahwa PPK di sini tidak pernah segan turun tangan, menyelesaikan permasalahan, bahkan permasalahan yang terjadi di tingkat basis sekalipun. “Mantap!” puji saya dalam hati.

Bada dzuhur, kami menuju Kelurahan Pa’baeng Baeng. Saya sempat melongo melihat betapa macetnya Kota Makassar. Tak ubahnya dengan Jakarta! “Baru setahun terakhir macetnya seperti ini, Bu,” Munirfan Najamuddin menjelaskan. Saya hanya bisa bergeleng-geleng kepala.

Kami tiba di Kantor Sekretariat BKM Bersatu, Kelurahan Pa’baeng Baeng, bersamaan dengan hujan cukup deras turun. Onggokan pasir dan batu bata menghiasi “pekarangan” Sekretariat BKM Bersatu. Rupanya sedang ada renovasi.

Pintu masuk Sekretartiat BKM Bersatu langsung menghadap ke jalan utama—jalan poros, begitu mereka menjelaskan. Saya keheranan mendapati rumah-rumah di sekitar lingkungan itu berupa panggung-panggung. Sebagian permanen, sebagian lainnya semi permanen. “Di sini sering banjir. Pernah sampai satu meter banjirnya, dan lumpurnya sampai selutut,” jelas Koordinator BKM Bersatu. ‘Astaghfirullah!’ saya berseru dalam hati.

Kehangatan, kebesaran hati dan kebijaksanaan cara berpikir masyarakat Kelurahan Pa’baeng Baeng—setidaknya yang saat itu hadir dalam pertemuan—membuat saya pribadi semakin takjub. Semua unsur positif tersebut saya kumpulkan seiring bincang-bincang kami dengan mereka. Dalam kesederhanaan, sebongkah permata bersinar terang. Begitu yang saya rasakan.

Dalam pertemuan itu, selain kami dari KMP dan Bank Dunia, hadir pula Kepala Kelurahan Pa’baeng Baeng Arief S., ketua LPM, PPK Provinsi, PPK Kota, jajaran KMW/OC 8 Sulsel, Korkot Kota Makassar, Tim Fasilitator dan tentunya, semua anggota dan pengurus BKM Bersatu.

“Tak benar, kalau partisipasi perempuan di sini sedikit. Tak benar juga kalau dikira perempuan yang mengikuti siklus PNPM Mandiri Perkotaan ini hanya menjadi seksi sibuk menyiapkan makan-minum, lalu duduk manis tanpa bicara apa-apa. Mereka juga mengeluarkan pendapat dan memberi masukan untuk PJM Pronangkis. Malahan, kalau kita ada rembug masyarakat, perempuan lah yang paling banyak datang. Kenapa? Karena para suami mereka biasanya masih bekerja, lalu para istri-lah yang aktif mengikuti kegiatan PNPM. Tak hanya perempuan, anak-anak pun turut membantu ketika ada kegiatan. Kami di sini belajar, seperti membandingkan harga material, belajar pembukuan, dan sebagainya.”

“Kami dulu di sini adalah kelurahan terkumuh se-Kota Makassar. Makanya, dengan hadirnya PNPM Mandiri Perkotaan, kami merasa sangat terbantu. Kalau hanya tunggu bantuan APBD, kita tidak mungkin bisa seperti sekarang ini. Keterlibatan masyarakat sendiri minimal 40% dan kami lakukan berjenjang. Sedangkan tingkat swadaya hampir seratus persen.” Begitu kira-kira yang terungkap dalam kunjungan hari itu ke Kelurahan Pa’baeng Baeng.

Tak terasa, Maghrib menjelang bersamaan dengan kami meninjau kegiatan lapangan. Kami sempatkan shalat jamaah di mesjid terdekat. Saya dapati belasan anak perempuan setempat berlarian, bercanda tawa, lalu shalat dengan tertib. Usai shalat, mereka kembali bercanda seraya menyiapkan tas mereka yang berjajar rapi di salah satu sudut saf perempuan. Ah, mereka semua akan mengaji, rupanya. Di mata saya, bongkahan permata yang saya katakan barusan, bersinar makin terang.

Kami kembali ke Kantor KMW, lalu cek in di Hotel Adhyaksa, dan tidur dengan—entah mengapa—hati yang riang. (Bersambung..)


(Sumber: http://kotaku.pu.go.id/page/4880)

Comments

Popular posts from this blog

Dan, Bekisar Merah itu pun Terbang (Bagian 2)