Hati Tertinggal di Makassar (Bag. 2)

Oleh: 
Nina Firstavina, SE.
Web Editor 
PNPM Mandiri Perkotaan 

Hari kedua, Rabu, 9 Desember 2011. Kami langsung menuju Kelurahan Sinrijala, Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar. Saya mendapat kehormatan untuk bertemu dengan dua dari sekian puluh korban dari kejadian tembok runtuh Sinrijala. Nenek tersebut begitu bersemangat menceritakan detik-detik runtuhnya tembok, yang menghancurkan 11 rumah dan membuat 30 KK kehilangan harta benda, bahkan nyawa anggota keluarga. Tercatat, 11 orang tewas dalam kejadian, termasuk jabang bayi yang belum lahir.

Salah satu nenek yang saya temui rupanya kehilangan anak semata wayang dan cucunya yang masih di dalam perut, sekaligus. Raut duka membayang jelas di sana, seiring cerita dituturkan dalam logat Makassar yang sangat kental. Saya gagal menahan air mata di depan narasumber—suatu hal “memalukan” bagi saya pribadi, tapi biarlah, sekalian mengingatkan bahwa saya masih manusia biasa. Saking terenyuhnya hati, ditambah hasrat ingin berbagi duka, saya menuliskan secara terpisah mengenai kejadian di Sinrijala ini. (Baca: Asa yang Terenggut di Sinrijala)

Suasana hunian di bantaran Kanal Sinrijala yang selamat dari reruntuhan karena berseberangan. Tampak beberapa korban bercengkrama di sini

Sekitar satu jam saya berbincang dengan kedua nenek tersebut, lalu meluncur ke lokasi perbaikan infrastruktur. Sekalian mendampingi Pak Didiet Arief Akhdiat dari PMU dan Tim Bank Dunia—Ibu Evi Hermirasari, Evi Rosa, Patricia dan Linda; menyusul Clara dari Simpadu Bappenas, Ibu Emil dari Bangda.

Setelah itu, kami diundang masuk ke aula di lantai 2 Mesjid Nur Aqsha. Mesjid ini terletak persis di belakang Sekretariat BKM. Kami—Tim Misi Supervisi dengan Faskel dan BKM—segera terlibat dalam perbincangan serius terkait kinerja BKM dalam memfasilitasi masyarakat. Mengalirlah semua informasi, mulai dari siklus hingga laporan/pembukuan dan PJM Pronangkis.

Pada intinya, pemahaman BKM mengenai PNPM sudah cukup baik. Relawan saja mencapai sekitar 50 orang. Partisipasi swadaya masyarakat Kelurahan Sinrijala pun cukup baik. BKM Sikamaseang sudah mengalami dua periode kepengurusan BKM dan pada kepengurusan baru ini koordinatornya adalah seorang perempuan yang aktif memulihkan kinerja BKM. Tak heran jika kegiatan pinjaman bergulir mulai membaik. Sebagai tambahan plus point, RTPLP Program ND di kelurahan ini juga sudah rampung dibuat.

Jika ada plus, maka ada pula minus. Di kelurahan ini ternyata ditemukan penyimpangan dana yang belum terselesaikan. Dari total dana yang menyimpang sebesar Rp43 juta, baru Rp20 juta yang kembali. Sisanya masih diproses oleh pihak BKM, dibantu Tim Faskel. Laporan pembukuan pun tidak lengkap (tercecer). Maklum, kejadian tembok runtuh di bantaran Kanal Sinrijala pekan lalu membuat BKM berinisiatif menyulap sekretariatnya menjadi Posko Bencana.

“Pada waktu yang bersamaan dengan kejadian, UPK dan Sekretartis BKM sedang melakukan pembukuan. Begitu mengetahui ada kejadian, kami semua berlarian ke luar dan berkas-berkas itu kami tinggalkan. Seiring kami mengevakuasi korban ke sini, berkas yang berserakan di meja itupun berceceran,” Koordinator BKM Sikamaseang Dian Iryanni menjelaskan.

Namun, kelengkapan pembukuan tersebut akhirnya dapat dipenuhi oleh BKM bersamaan dengan pelaksanaan lokakarya mini keesokan harinya.

Usai kunjungan ke Kelurahan Sinrijala, kami meluncur ke Kelurahan Kalukuang, Kecamatan Tallo. Suasana langsung berubah 180 derajat—setidaknya itu yang saya rasakan. Pertemuan yang dilaksanakan di Kantor Korkot kali ini terkesan lebih serius, tapi lebih efisien. Dialog dan tanya-jawab yang dilakukan segera mendapat jawaban yang to the point, terutama jawaban dari pihak BKM Kelurahan Kalukuang.

Satu hal yang membuat saya terkagum-kagum dengan Kalukuang adalah Pembangunan Jangka Menengah Program Penanggulangan Kemiskinan (PJM Pronangkis)-nya sudah bersinergi dengan pihak kelurahan, sehingga “naik kelas” menjadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kelurahan (RPJMK). “Kami sudah lama meninggalkan PJM Pronangkis, karena sekarang sudah jadi RPJMK dalam rangka melengkapi Musrenbang tingkat kecamatan,” kata Kepala Kelurahan Kalukuang Firman Pagarra. Hal tersebut mengindikasikan kelurahan yang disebut-sebut sebagai daerah perumahan dosen ini sudah berada pada tahap mandiri.

Pemahaman BKM mengenai PNPM bisa dikatakan sangat baik. Peran dan kualitas partisipasi perempuan juga tinggi. “BKM justru lebih banyak digerakkan oleh ibu-ibu. Mereka lebih menonjol dan aktif dibandingkan bapak-bapaknya,” jelas Koordinator BKM Kalukuang.

Lebih lanjut, kualitas infrastruktur di kelurahan ini baik, karena juga dibantu oleh mahasiswa (teknik) setempat. Dari segi harga, efisiensi kegiatan mencapai 80%. “Jika dibandingkan dua kegiatan serupa, misalnya infrastruktur, yang satu menggunakan dana Rp80 juta dan satunya lagi oleh kita, hanya Rp18 juta. Kualitasnya sama. Tapi dari segi ongkos bisa kita lihat, kegiatan yang kita lakukan sangat efisien,” tegasnya lagi. Tidak hanya itu, dari segi pemanfaat, kegiatan yang dilakukan PNPM Mandiri Perkotaan lebih tepat sasaran.

Peran swadaya masyarakat Kalukuang juga tinggi. Buktinya, masyarakat bersedia menghibahkan sekian belas meter tanah mereka—mengingat kelurahan ini padat penduduk, hibah tanah belasan meter bisa dikatakan spektakuler. Hanya saja, tampaknya keyakinan masyarakat terhadap BKM masih lemah. Karena, meski mereka menghibahkan tanah mereka untuk kegiatan penanggulangan kemiskinan, mereka masih menolak menandatangani perjanjian apapun, karena takut disalahgunakan.

“Tapi jika tidak didokumentasikan perjanjian hibah tersebut, takutnya malah akan terjadi hal yang tidak diinginkan ke depannya, semisal gugatan dari ahli waris untuk mengembalikan tanah tersebut. Sebenarnya hitam di atas putih ini penting untuk keamanan dan dari segi hukumnya bisa lebih kuat,” jelas Sub TA KMP PNPM Mandiri Perkotaan Maizil Jalaludin.

Pihak BKM mengaku menyadari hal tersebut. Mereka sependapat dengan yang dikatakan Pak Maizil, tapi terkendala ongkos pembuatan akta di P.P.A.T. yang cukup tinggi.

Kelurahan Kalukuang juga sedang merancang program Pengembangan Lingkungan dan Permukiman Berbasis Komunitas (PLPBK), dan rencananya lokasi sasaran kegiatan adalah perbaikan pasar dengan pertimbangan pasar tersebut merupakan nadi perekonomian masyarakat setempat. “Kami tidak kuatir diprotes masyarakat terkait perbaikan pasar dalam pelaksanaan PLPBK, karena itu adalah keinginan masyarakat sendiri,” kata Koordinator BKM Kalukuang.

Setelah dialog ini akhirnya kami ke lapangan dan menemukan bahwa masyarakat begitu antusias melihat kedatangan Tim Misi Supervisi. Dan mengenai perbaikan pasar yang dimaksud, benar saja, pasar tradisional berbentuk L ini terbilang pusat perekonomian masyarakat setempat. Mereka berdagang di depan rumah mereka masing-masing. Jadi lokasi tersebut adalah pasar sekaligus permukiman.

Saya pribadi mengkhawatirkan kesehatan penduduk sekitar mengingat kondisi pasar tradisional seperti ini biasanya bau dan kotor. Tapi, lucunya, beberapa warga yang saya temui mengaku tidak pernah merasa sakit, bahkan tidak keberatan dengan keadaan tersebut. “Kami di sini, baik yang tua maupun anak-anak, sehat semua. Tidak pernah sakit. Karena kami sangat menjaga kebersihan. Selesai pasar tutup, kami segera bersih-bersih,” kata salah seorang ibu, warga pasar, sambil menggendong bayinya yang berusia 4 bulan. Saya mengamati, sang bayi memang terlihat sehat-sehat saja. Bahkan, anak-anak yang tinggal di lokasi pasar ini terlihat sehat dan bersih.

Coaching Kilat Jurnalistik

Usai kunjungan lapangan, Tim Misi Supervisi kembali ke tempat peristirahatan mereka, kecuali kami—saya, Pak Ali Imron dan Pak Maizil. Pasalnya, selepas Maghrib itu, saya diminta memberikan Coaching Jurnalistik/Best Practice untuk rekan-rekan SF, Askot, dan Korkot Makassar. Yang membuat saya gembira, pihak KMW juga turut hadir, antara lain TA Sosialisasi KMW/OC 8 Sulsel Hasanudin A.T., Sub TA PPM KMW/OC 8 Sulsel Muh. Darwis dan TA Urban Planner KMW Munirfan Najamuddin. Kehadiran mereka membuat saya merasa KMW/OC Sulsel mendukung kegiatan ini—terima kasih. :)

Jujur, coaching ini saya rasakan cukup dadakan, sehingga tidak sempat mengkonsep suatu pelatihan yang sistematis seperti pelatihan/coaching pada umumnya. Saya benar-benar hanya mengandalkan pengetahuan yang dimiliki saja. Namun, alhamdulillah, mulai dari untaian kalimat pertama hingga selesai, rekan-rekan yang mengikuti coaching kilat ini tetap bersemangat dan antusias mengikutinya.

Bahkan, waktu coaching yang saya perkirakan hanya dua jam, memanjang jadi hampir empat jam—mulai pukul 18.25 WITA hingga 22.10 WITA. Waktu berlalu tanpa terasa, saking intens-nya kami tanya-jawab dan sharing cerita terkait pengalaman menulis rekan-rekan lapangan. Diskusi berlangsung santai, diiringi canda. Sampai-sampai saya sempat memberi julukan baru kepada Korkot 1 Makassar Anwar Gaffar dengan sebutan "TA Judul", karena memang bapak berpostur tinggi besar ini sangat jago mencari kalimat menarik yang bisa dijadikan judul. Suasana akrab ini membuat saya merasa bersaudara dengan semua personel PNPM Mandiri Perkotaan Kota Makassar.

Dalam coaching kilat ini, saya menjelaskan mulai dari basic cara menulis—yaitu 5W 1H, hingga ke teori aproximity, piramida terbalik dan tips mencari angle (sudut pandang) suatu tulisan agar menarik dibaca orang. Selanjutnya, barulah memasuki ranah Best Practice. Saya menjelaskan sejarah pengelolaan Best Practice di tingkat KMP sejak tahun 2007, mulai dari pengelolaan oleh Redaksi, kemudian dialih-kelola oleh Tim Sosialisasi KMP, lalu berpindah ke Tim Capacity Building, hingga akhirnya sekarang dikelola oleh Tim Penilai Best Practice Nasional. 

Mengingat kini mekanisme Best Practice menggunakan sistem scoring, saya menyarankan agar rekan-rekan yang menulis Best Practice ini hendaknya konsultasi dengan TA USK KMW bersangkutan, mencatat indikator-indikatornya agar tulisan tersebut masuk sebagai kategori Best Practice, lalu dikolaborasikan dengan indikator score.

“Bagaimana dengan Best Practice yang sudah pernah kami kirimkan tapi tidak juga tayang? Ini sebenarnya nyangkut di mana? Kalau memang tulisan kami kurang layak sebagai Best Practice, kenapa tidak ada feedback kepada kami, kurangnya di mana,” tanya Herman “Kalla”—nama julukan bagi Senior Faskel Herman Syamsuddin, yang pernah aktif sebagai jurnalis salah satu media cetak ternama di Kota Makassar.

Menanggapi pertanyaan ini, secara lisan tapi resmi, saya meminta kepada TA Sosialisasi KMW agar ke depannya siap memberikan feedback yang diperlukan. “Feedback atau upaya berkomunikasi dengan penulis, adalah tanda kita mengapresiasi rekan-rekan penulis di lapangan,” saya menegaskan. Sedangkan untuk di tingkat KMP, saya berjanji akan lebih intens mengajak Tim Penilai Best Practice Nasional untuk selalu memberikan feedback.

Satu hal yang sangat membanggakan bagi saya pribadi, coaching kilat ini langsung melahirkan Tim Media Warga PNPM Sulawesi Selatan. Tim ini terdiri dari TA Sosialisasi KMW Ir. Hasanuddin AT, Korkot Makassar Drs. Anwar Gaffar, Sub TA Monev KMW Agustiar Saleng (sebagai pembina), Sub TA PPM KMW Muh. Darwis, S.H., TA Urban Planner KMW Munirfan Najamuddin (sebagai penanggung jawab), Askot CD Kota Makassar A. Ardiansyah (sebagai Direktur Eksekutif), Senior Faskel Arief Sikki, Senior Faskel Muh. Ishak M. (sebagai editor), Senior Faskel Herman Kalla (sebagai sirkulasi), Senior Faskel Muh. Dahlan Hafid, dan Senior Faskel Kamis Laeni (sebagai promosi dan iklan). Tim ini ber-basecamp di Jalan Sunu, Makassar, dan Ishak sebagai contact person.

Sebagai catatan tambahan, salah seorang pengurus Tim Media Warga PNPM Sulsel, yaitu Arief Sikki adalah satu dari dua Fasilitator terbaik PNPM Mandiri Perkotaan yang menerima penghargaan dalam kegiatan Temu Nasional di Jakarta, pada 29-30 November 2011.

Satu lagi poin mengagumkan dari Kota Makassar yang terekam dalam memori saya. Begitu luar biasanya achievement ini, menurut saya, hingga merasuk ke hati. Meski letih dan kantuk melanda, usai coaching itu kami segera kembali ke Hotel Adhyaksa dan beristirahat dengan, lagi-lagi, hati yang riang. (Selesai)

Comments

Popular posts from this blog

Dan, Bekisar Merah itu pun Terbang (Bagian 2)